Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri)

Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri) - Baiklah disini saya akan menjelaskan serta sharing kepada teman-teman dengan melanjutkan Pembahasan kemarin yaitu tentang Psikologi Kemalasan terkait Pembelajaran Motivasi Diri. Pada saat ini saya akan membahas tentang MENJADI "MANUSIA PEMALAS", SALAH SIAPA? pada bagian Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri). Langsung saja simak penjelasannya dibawah ini.


budaya-mentang-mentang-budaya-yang-meninabobokan-diri-sendiri


Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri)


Menangislah Bila memang ingin menangis

Lalu hapuslah air matamu

Berdirilah tegak !

Lalu lanjutkan perjalanan hidupmu...!

Dan kita terlahir bukanlah untuk menghapal

dan membaca sejarah orang lain saja... ,

Tetapi kita tercipta untuk membuat sejarah

tentang diri kita sendiri... .!

(Linggo Wibowo, 2007)


    Salah satu budaya yang melenakan banyak orang (selain budaya-budaya beraliran negative lainnya seperti; budaya pornografi, budaya pacaran, budaya ngeseks di luar nikah dan sebagainya) yang tidak kalah membahayakan adalah budaya mentang-mentang. Budaya mentang-mentang ini adalah budaya yang tidak banyak orang menyadari keberadaannya. Seakan-akan antara individu dengan budaya mentang-mentang sudah benar-benar menyatu-padu sehingga si individu tidak akan merasa bahwa dirinya terkena penyakit budaya mentang-mentang.

    Orang lainlah yang melihat, orang lain pulalah yang mampu menyatakan bahwa di individu sakit. Karena budaya mentang-mentang adalah tergolong penyakit hati yang orang lainlah sekali lagi penulis tegaskan yang mampu mengetahui, bukan penyakit fisik yang diri sendiri pun mampu mengetahui keberadaan penyakit tersebut.

    Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya mentang-mentang ini? Budaya mentang-mentang adalah sebuah budaya tentang keakuan diri yang menyatakan bahwa diri sendiri sudah merasa sukses sehingga tidak perlu lagi mengembangkan kreativitas lagi, atau yang menyatakan bahwa diri sendiri sudah merasa pintar sehingga tidak perlu lagi mengembangkan kecerdasan kognisi lagi. Dan berbagai kata sudah merasa lainnya.

    Ketika seseorang terrhinggapi baik sadar atau tidak sadar 2 kata sudah merasa ini, berarti seseorang (tersebut) pengikut aliran atau paham budaya mentang-mentang. Yah, mentang-mentang sudah lulus UAN, mentang-mentang baru saja lulus ujian skripsi, tesis dan disertasi, mentang-mentang sudah kaya, dan mentang-mentang sudah sukses dan mentang-mentang lainnya sehingga timbullah perasaan malas menge-eksiskan diri dalam ranah pengembangan diri.

    Ada beberapa ucapan yang sering kali saya dengan dari bibir-bibir mungil orang yang sudah merasa ini, di antaranya :


  • Ahhh...! Saya kan sudah lulus ujian UAN, jadi saya sudah merasa nyaman, legowo serta bebas pikiran dan tekanan bathin. Oleh sebab itulah yah... sekarang waktunya "hidup nyantai" tanpa beban dan pikiran yang berjubel. Sekarang waktunya refreshing, dan saya tidak mau mikir apa-apa lagi kecuali hanya "hidup santai" saja. (Sumber : Anak-anak SMK di sebuah sekolah di daerah Gombong Kebumen)


  • Alhamdulillah, saya sudah mengambil semua mata kuliah di jurusan A. KKN dan PKL (Praktek Kerja Lapangan) pun sudah saya ambil, nah... tinggal skripsi saja kan santai. Namun kebanyakan, karena merasa sudah bebas dari pengambilan mata kuliah inilah sehingga menjadikan skripsi terkadang malah jadi kendala utama tidak lulusnya seorang mahasiswa. Santai yang teramat santai, sehingga tidak memikirkan lagi bagaimana nasib skripsi. Akibatnya dari budaya mentang-mentang atau sudah merasa ini menjadikan mahasiswa ada yang di DO atau membeli skripsi orang lain.


  • Selama ini saya puasa Senin Kamis dan shalat hajat agar saya diterima di fakultas kedokteran salah satu Perguruan Tinggi favorit dan bergengsi di Yogyakarta. Usaha saya selama ini tidak sia-sia, saya pun masuk di fakultas kedokteran, fakultas yang selama ini saya idam-idamkan. Sehingga saya pun mulai malas mengerjakan puasa senin kamis, apalagi shalat hajat. (AR, salah satu sahabat saya di fakultas kedokteran di Perguruan Tinggi Besar di Yogyakarta). Jadi karena merasa sudah diterima atau mentang-mentang sudah lulus, kegiatan mulia yang seharusnya dipupuk dan dikembangkan demi perbaikan dan penambahan kualitas diri malah pelan namun pasti ditinggalkan. Dengan berbagai alasan seperti capek karena banyak sekali praktikum sehingga terkedang kalau puasa membuat tubuh lemas, atau banyak sekali membuat laporan hasil praktikum sehingga pikiran tidak konsentrasi penuh karena menahan lapar dan dahaga dan lain sebagainya.


    Tiga contoh ucapan dari beratus-ratus ucapan lainnya yang mungkin pernah atau belum pernah saya dengar, namun saya tetap yakin bahwa budaya mentang-mentang atau sudah merasa ini terkadang atau mungkin malah sering hinggap di diri individu. Karenanya memang "konsep waspada" harus tetap dimunculkan dengan terang.

    Menurut saya ada beberapa faktor atau sebab yang menjadikan diri terkena budaya mentang-mentang ini, di antaranya adalah :

diagram-1

1. Problem Belajar

    Pembelajaran diri yang tidak sempurna menjadikan diri sendiri kurang cerdas dalam mensikapi/merespon keadaan diri. Proses belajar yang baik/berhasil menurut Slameto (1995:2-4) apapun jenis pembelajarannya, baik itu formal, non formal atau informal adalah proses belajar yang mampu mengarahkann diri pada berbagai bentuk "perubahan" terutama perubahan dalam segi tingkah laku. Misalnya, dengan semakin bertambahnya ilmu pengetahuan maka tingkah laku diri menjadi terkontrol, tingkah laku diri lebih menuju ke arah positif dan aktif. Bukan sebaliknya malah mengarah kepada segi keangkuhan serta kesombongan diri, sebagaimana budaya mentang-mentang ini.

    Lain halnya dengan Andrias Harefa (2002:37) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran yang sempurna memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) baik terhadap dirinya sendiri mau dan mampu menghargai dirinya sendiri dan orang lain.

    Wujud dari penghargaan tersebut misalnya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sangat dimungkinkan bisa lebih membawa diri kepada keberhasilan yang beragam. Artinya, tidak terlenakan oleh satu keberhasilan saja yang setelahnya matit suri dalam tempo lama.

    Seseorang yang tidak menghargai dirinya sendiri akan terlihat bentuk pendzalimannya dengan jelas. Misalnya, membiarkan dirinya larut dalam dunia kemalasan pasca keberhasilannya dalam mencapai ecpectasi dan resolusi yang selama ini diidam-idamkan.

    Adapun bentuk dari pembelajaran yang tidak sempurna ini sehingga melahirkan rasa mentang-mentang sangat memungkinkan adanya slogan yang sering kali diterapkan oleh individu yakni manusia hidup untuk belajar dan bukan belajar untuk hidup (Jacob Sumardjo : Hidup itu Belajar, Kompas, 24 April 1996). Slogan ini mengartikan bahwa bila orang belajar untuk hidup; untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan dan sebagainya maka ia akan menjadi pemburu gelar atau atribut-atribut simbolis kepriyayian yang tidak esensial. Mereka akan sangat puas dan merasa cukup berkreativitas setelah usahanya yang terkadang tidak positif membeli gelar, atau tugas akhir dibuatkan atau membeli kepada orang lain dan sebagainya telah mencapai, misalkan telah tamat belajar. Akibatnya adalah terjadinya mati suri atau bahkan mati total untuk tidak membaca, menulis, atau kreativitas lainnya pasca usai sekolah atau lulus universitas.

    Akan sangat berbeda manakala slogan "hidup untuk belajar" ini yang diterapkan dalam kehidupan masing-masing individu. Apa yang terjadi? yakni seseorang yang tidak menitikberatkan pada "gelar semata" atau katakanlah dirinya tetap memperjuangkan gelar tetapi esensinya bukan pada gelar tersebut melainkan pada ilmunya. Bagi mereka yang terpenting dan bahkan yang teramat penting adalah aktualisasi atas potensi diri yang membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya. Dan proses ini tidak akan pernah kelar, tidak akan pernah usai, dan tidak akan pernah mati atau lapuk di makan rayap kecuali hanya satu yang mampu mengentikan laju yakni batu nisan di perkuburan Andrias Harefa (2002:53)

    Dengan adanya konsep terus-menerus belajar di atas maka penyakit berupa budaya mentang-mentang ini secara otomatis akan tersingkirkan, karena memang bagi orang-orang penganut paham diatas hidup untuk belajar budaya mentang-mentang adalah budaya yang sakit, budaya yang rapuh dan budaya yang menjerumuskan, karenanya memang harus disingkirkan.


2. Problem Motivasi

    Harold Koontz O Donnel dan Heinz Weihrich (1980:115) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan motivasi (motivation) adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenisnya yang mengarahkan perilaku. James P. Chaplin (1999:310) memberikan definisi motivasi adalah satu variable penyelang yang didunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang memnagkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju sasaran.

    Richard M. Hodgetts dan Donald F. Kurako (1998:284) dikatakan bahwa motivasi berfungsi besar di dalam diri seseorang yakni sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan, menentukan arah, dan menyeleksi tingkah laku.

    Dengan motivasi yang besar dalam diri inilah apapun keinginan atas izin Allah tentunya, dengan disertai usaha dan doa akan tercapai. Tanpa menafikan adanya kegagalan di tengah jalan, meski yang demikian tetapi tidak menyurutkan langkah untuk terus dan terus maju ke depan. Sekali lagi ditegaskan hal tersebut disebabkan karena adanya motivasi.

    Dari berbagai definisi di atas disatupadukan oleh Abdul Mujin dan Jusuf Mudzakir (2002:244) yang mendefinisikan motivasi sebagai akumulasi daya dan kekuatan yang ada di dalam diri seseorang untuk mendorong, merangsang, menggerakkan, membangkitkan dan memberi harapn pada tingkah laku. Motivasi menjadi pengarah dan pembimbing tujuan hidup seseorang, sehingga ia mampu mengatasi inferioritas yang benar-benar dirasakan dan mencapai superioritas yang lebih baik. Semakin tinggi motivasi hidup seseorang maka akan semakin tinggi pula intersitas tingkah lakunya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

    Apa yang dibicarakan di atas adalah dalam tataran idealnya, karena pada kenyataaan banyak individu-individu yang gagal meng-eksiskan motivasi di dalam dirinya. Banyak para individu yang lemah dan bahkan sampai pada tahapan jatuh tidak berkreasi lagi, disebabkan karena tidak adanya motivasi yang tinggi baik secara intern (yakni dari dalam dirinya sendiri) maupun secara extern (yakni di luar dirinya seperti lingkungan, keluarga dan sebagainya) Sehingga yang demikian menjadikan pada individu seperti berulang kali disampaikan di atas mati suri.

    Kurang atau hilangnya motivasi diri akan menyebabkan seseorang merasa cukup atas apa yang dimilikinya, meski berbagai potensi yang ada masih berjibun bila ingin digali dan dikembangkan. Memang sangat erat kaitannya antasa motivasi yang mati atau tidak sehat dengan budaya mentang-mentang ini. Motivasi yang mati atau tidak sehat melahirkan budaya mentang-mentang. Ketika seseorang sudah merasa hebat karena telah mengeluarkan satu karya buku dengan beragam pujian yang datang dan mentang-mentang sudah tenar sehingga tak perlu menulis karya lagi, maka inilah contoh seseorang yang kehilangan motivasi atau terkena penyakit motivasi yang mati atau tidak sehat. Dan yang demikian sangatlah berbahaya karenanya haruslah motivasi dihidupkan atau disembuhkan.

    Pertanyaannya bagaimanacara menyehatkan motivasi diri? Rasulullah SAQ memiliki tiga model pembinaan dalam emnumbuhkan motivasi diri sesuai pemaparan Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung (2003:49) yakni :

diagram-2

    Cara pertama yang harus dilakukan adalah dengan pembinaan dari dalam atas diri seseorang. Hal ini selaras dengan surat ar-Ra'du ayat 11 yang menyatakan bahwa "Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum manakala tidak ada usaha dan upaya yang sebenar-benarnya dari kaum tersebut untuk mengubah diri mereka sendiri." Demikian pula meng-eksiskan motivasi diri pun harus ada niat dan usaha yang keras dari diri sendiri. Rasulullah pun menekankan bahwa perubahan harus berawal dari dalam diri sendiri tidak boleh berawal dari luar, jika perubahan berawal dari luar maka akan sulit mengikuti perubahan. Tetapi jika perubahan itu datangnya dari dalam terlebih dahulu maka apapun yang datang maka akan dihadapi dengan kuat.


    Cara yang kedua untuk mengeksiskan motivasi diri adalah dengan keteladanan. Jangan ada rasa gengsi, jangan ada rasa malu untuk menteladani orang lain, meskipun dia adalah orang yang dibawah kita, atau meskipun dia adalah teman sewajar kita. Selama orang lain itu memiliki kelebihan, selama orang lain itu memang pantas untuk diteladani dan dicontoh kebaikannya "why not?" mengapa tidak, kesemua itu pun nantinya akan membawa dampak positif untuk diri sendiri.

    Ketika orang lain tidak mudah mengatakan, "saya sudah merasa begini sehingga saya tidak perlu lagi berbuat begini" maka yang demikian itulah pantas untuk diteladani. Dan ketika orang lain tidak mudah berhenti dari kreativitasnya, terus dan terus dikembangkan meskipun sudah sukses, maka yang begini pula harus dan justru wajib hukumnya untuk diteladani.

    Diriwayatkan dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus r.a dari Rasulullah SAW, sabdanya : "Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap yang baik terhadap segala sesuatu... ." (HR. Muslim)


    Cara yang ketiga yang bisa mengeksiskan motivasi diri sehingga tidak menyebabkan terkena penyakit budaya mentang-mentang adalah penekananan pada tujuan yang mungkin selama ini telah dirancang. Seyogyanya memang seseorang memiliki daftar rancangan atas hal-hal yang ingin dituju, dan itu tidak hanya satu jenis saja melainkan beragam jenis keinginan. Dengan asumsi, bila satu tujuan telah berhasil diraih maka seseorang akan langsung melihat daftar tujuan lainnya demikian terus-menerus... sehingga tidak terpikirkan olehnya untuk berkata, "tujuanku telah tercapai maka saya rasa sudah cukup karena idak adal lagi tujuan-tujuan lainnya..." hal ini tentu mematikan kreativitas.

    Akan berbeda manakala seseorang memiliki banyak tujuan yang telah dirancang, maka kata yang terucap akan berbunyi "tujuanku yang pertama telah tercapai... maka saya akan meneruskan tujuan-tujuanku yang lainnya... bilamana tujuanku yang kedua dan ketiga tidak tercapai maka saya akan terus melangkah pada tujuanku yang keempat, kelima, dan seterusnya... ."

    Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a katanya, Rasulullah SAW pernah memegang bahuku seraya bersabda : "Beradalah anda di dunia, bagaikan orang yang mengembara atau orang yang melintasi jalan."

    Ibnu Umar r.a memberikan komentar : "Apabila anda masuk waktu petang, maka janganlah anda menantikan sampai pagi dan apabila anda masuk waktu pagi, maka janganlah anda menantikan waktu petang. Dan pergunakanlah ketika anda sehat untuk waktu sakit anda dan ketika hidup anda untuk mati anda." (HR. Bukhori)


3. Problem Perilaku

    Perilaku seseorang menentukan sikap. Bila perilaku yang diterapkan dalam diri individu positif maka sikap yang akan diambil oleh si individu pun akan positif. Demikian pula bilamana perilaku yang diterapkan dalam diri individu negatif maka sikap yang akan diambil oleh si individu pun akan negatif. Karenanya memang perubahan perilaku menuju ke hal positif selalu diharapkan.

    Termasuk dalam hal ini, budaya mentang-mentang muncul disebabkan karena perilaku individu yang bermaslah sehingga sekali lagi ditegaskan melahirkan sikap mentang-mentang.

    Oleh sebab itukah kecerdasan intrapersonal atas diri seseorang sangat dibutuhkan, yakni kecerdasan dalam mengintropeksi dirinya sendiri, sehingga seseorang tersebut dapat menjadi manusia yang mampu memahami perasaan, tingkah laku dan pemikiran diri sendiri.

    Maryudi (2006:116) menyatakan melalui kecerdasan intrapersonal, seseorang dapat mendeteksi bahwa menurut perasaanya, dia telah berbuat yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dan pemikirannya telah menilai sudah berlaku benar atau salah, yang hal tersebut dihubungkan pula dengan tingkah laku kesehariannya, apakah sudah sesuai norma atau tidak.

    Seseorang yang mampu mengintropeksi jiwanya, sudah memahami perasaan dan pikirannya kemudian dapat menilai perbuatan atau perilakunya, maka kecil kemungkinan akan terjadi penyimpangan dalam tindakan kesehariannya. Termasuk perihal budaya mentang-mentang ini akan segera tersingkirkan dari diri individu.


4. Problem Emosional

    Dalam bukunya Netty Hartati dkk., (2004:108) disebutkan yang dinamakan emosi adalah suatu reaksi kompleks yang mengaitkan satu tugkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam serta dibarengi dengan perasaan (feeling) yang kuat atau disertai dengan keadaan efektif. Perasaan (emosi) merupakan pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmani.

    Daya emosi kalbu ada yang positif dan ada pula yang negatif. Emosi positif misalnya bahagia disebabkan karena  fall in love, senang dan riang gembira dikarenakan lulus ujian atau diterima kerja atau pula karena hasil karya yang selama ini dibuat mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat. Sedangkan emosi negatif seperti benci, sedih, ingkar, mendua dan lain sebagainya.

    Ketika emosi positif berada pada hati yang negatif maka hasilnya akan negatif.

diagram-3

    Sebagai contohnya saja, seseorang merasakan bahagia yang dalam karena  fall in love (emosi positif), sayangnya hati seseorang tersebut negatif alias minim hidangan-hidangan rohani, maka yang terjadi adalah tindakan/perilaku yang negatif, seperti melakukan hubungan badan sebelum pernikahan, bercumbu rayu tanpa takut dosa, dan bahkan bisa pula hamil diluar nikah.

    Atau bisa pula ketika seseorang merasakan kebahagiaan yang mungkin benar-benar memmbahagiakan dalam berbagai hal apapun, tetapi si empunya bahagia tidak memiliki hati yang bersih-positif, maka yang terjadi adalah tindakan yang negatif seperti berlebih-lebihan dalam mengapresiasikan rasa bahagia; minum-minuman keras, narkoba, main perempuan, diskotik, atau berupa versi lain yakni sombong, riya', budaya mentang-mentang dan lain sebagainya.

    Sama halnya bila emosi negatif berada pada hati yang negatif maka hasil yang didapatkan adalah negatif. Bisa dilihat pada bagan berikut ini :

diagram-4

    Hal yang demikian bisa dilihat pada seseorang yang tidak memiliki basic atau dasar yang kuat untuk menerima berbagai hal yang tidak menyenangkan disebabkan karena memang kurang hidangan-hidangan rohani ketika mendapati lamaran kerjanya ditolak, atau ketika mengetahui gagal masuk perguruan tinggi favorite, atau pula harus mengalami penolakan-penolakan revisi tugas akhir memunculkan emosi negatif seperti; kecewa, amarah, dongkol sehingga menyebabkan tidak ada gairah lagi untuk bangkit dan berdiri tegak, parahnya pelariannya bukan ke arah positif malah cenderung negatif seperti dugem (dunia gemerlap), minuman keras, narkoba, malas yang berlebihan dan sebagainya.

    Orang-orang yang demikian di atas senantiasa merasa bahwa dunia sudah runtuh dan tidak akan bisa diberdirikan kembali. Karenanya, tugas yang harus diembannya hanyalah meratapi dan menyesali kegagalan tanpa adanya usaha seribu kali untuk bangkit. Dan inilah malapetaka yang tidak seharusnya dikonsumsi.

    Kategori yang ketiga adalah emosi negatif berada pada hati yang positif maka hasil yang didapatkan adalah positif. Ini bisa dilihat dari diagram berikut ini :

diagram-5

    Kategori ini adalah kategori terbaik yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu, sebab kategori ini benar-benar mencerminkan kepositifan hidup tanpa memandang bahwa hidup itu adalah kejam, hidup itu pahit, atau bahwa terkadang hidup itu tidak adil. Menurut kaum pro kategori ini bahwa di balik kepahitan hidup sebenarnya ada kebahagiaan yang menanti, atau di balik ketidak-adilan hidup sebenarnya ada keadilan yang juga menanti. Singkatnya akan selalu ada hikmah yang menanti dari suatu kehidupan. Tanggal bagaimana si individu tersebut sabar atau tidak dalam menyingkap misteri kehidupan.

    Para pro kategori ketiga ini tetap tegar berdiri meski badai menghadang disebabkan karena terkonsumsinya dengan baik hidangan-hidangan qalb sehingga manakala keadaan diri sedang sedih, sedang kecewa atau apapun bentuk emsoi negatif lainnya, nafs tetap berkhusnudzan kepada illahi. Peluapan emosi-negatifnya malah cenderung disalurkan ke hal-hal positif seperti bertadarrus Al-Qur'an, aktif menghadiri majelis ta'lim, halaqah dan lain sebagainya.

    Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan budaya mentang-mentang ini? masuk kategori yang mana? bila dicermati dengan seksama maka yang terlihat adalah bahwa budaya mentang-mentang ini masuk dalam kategori emosi positif pada hati yang negatif. Bisa diuraikan sebagai berikut :



Emosi Positif

  • Adanya kebahagiaan yang terpancar disebabkan keberhasilannya meraih sesuatu yang selama ini diharapkan.
  • Kebahagiaan inilah yang dinamakan emosi positif, sebab membawa pada titik pencerahan suasana diri.


Hal yang Negatif

  • Dalam hal ini hati ternyata tidak banyak/tidak terlalu sering atau bahkan mungkin sangat minim mengkonsumsi hidangan-hidangan rohani. Dengan kata lain tidak dan perawatan khusus untuk hati. Hati dibiarkan seperti hutan berlantara yang tidak pernah diinjak kaki oleh manusia. Hati seperti pula pohon yang tidak ada buah dan dedaunan, kering tidak memancarkan aura kedamaian dan keteduhan selayaknya pepohonan yang rindang.
  • Kekeringan dan kegersangan hati inilah yang menjadikan emosi positif di atas ikut larut ke dalam suasana kenegatifan, sehingga yang terjadi adalah : lahirnya budaya mentang-mentang, lahirnya kesombongan dan keangkuhan diri, lahirnya budaya bermalas-malasan, meremehkan potensi orang lain, tidak mengakui kelebihan orang lain dan lain sebagainya.


    Demkian beberapa penyebab atau faktor yang melatarbelakangi munculnya budaya mentang-mentang diri, yang jelas setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka budaya mentang-mentang ini tetap merugikan diri sendiri dan berdampak merugikan orang lain. Karenanya, apapun bentuknya budaya mentang-mentang ini harus segera dihapuskan, karena sekali lagi ditekankan "sangat berbahaya dan membahayakan" masa depan.




Baca Selanjutnya Di bawah ini :




Nahh begitulah pembahasan kali ini yaitu Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri) Menarik bukan? Jika anda suka, share ke teman atau keluarga anda sehingga kita bisa saling mempelajari ilmu-ilmu terkait pembahasan pada artikel ini. Jika ada yang kurang dimengerti silahkan komentar dibawah yah😇😇😇

Jika anda ingin mencari atau melanjutkan pembahasan terkait Psikologi Kemalasan silahkan cek di link berikut : Klik Disini

Demikianlah artikel pembahasan materi yang berjudul Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri). Semoga bermanfaat bagi anda. Terima Kasih...


Sumber : Buku Panduan "Pengusir Kemalasan" dan "Pembangkit Motivasi-Diri" untuk kalangan Pelajar SMU/MA/SMK, Mahasiswa, Guru dan Dosen, Kaum Pesantren, Karyawan, Instansi Pemerintahan/Swasta dan Perusahaan. (Dr. Azam Syukur Rahmatullah, S.H.I., M.S.I., M.A.)

Syarif Al Qadri Akbar
Syarif Al Qadri Akbar Hanya Manusia Biasa Yang Ingin Hidup Bahagia Di Dunia Maupun Di Akhirat Kelak 🙏😊😇

Posting Komentar untuk "Budaya Mentang-Mentang (Budaya yang Meninabobokan Diri Sendiri)"