Malas, Siapa yang Harus Disalahkan? | PK
Siapa yang Harus Disalahkan? | PK - Baiklah disini saya akan menjelaskan serta sharing kepada teman-teman Pembahasan terbaru yaitu tentang Psikologi Kemalasan terkait Pembelajaran Motivasi Diri. Pada saat ini saya akan membahas tentang MENJADI "MANUSIA PEMALAS", SALAH SIAPA? pada bagian Siapa yang Harus Disalahkan?. Langsung saja simak penjelasannya dibawah ini.
Siapa yang Harus Disalahkan?
Bila aku meninggal nanti...!
Inginku tulis untaian kata di batu nisanku...!
"Telah diistirahatkan ditempat ini.....,
Seseorang yang tak pernah mau menyerah dalam membuat karya
selama hidupnya."
(Linggo Wibowo; 2007, Siswa Madrasah Aliyah Plus "Nururrohmah"
PP Al-Kamal Buayan Gombong Kebumen, Siswa yang memiliki
kualitas tinggi dalam bidang penulisan sastra meski keadaan diri
memiliki keterbatasan fisik)
Menyandang predikat "disalahkan" adalah sesuatu yang bila dilihat dari kaca mata "positivistik" merupakan hal yang terbaik dengan modal "pengoreksi diri" menuju pintu perubahan. Yah, perubahan ke arah yang lebih baik. Memang harus diakui sesuatu yang berat bahkan mungkin teramat berat ketika beban predikat "disalahkan" tersandang di pundak. Penolakan-penolakan diri pasti akan muncul dan rasa kegengsian dalam hati pun tidak kalah berperan-serta.
Tetapi karena pandangan yang dipakai adalah pandangan positive-thinking, maka hasil nya pun akan menunjukkan rasa kebersyukuran diri kepada illahi, karena dengan adanya predikat "dipersalahkan" maka sang nafs bisa tahu kekurangan yang selama ini baik disadari atau tidak disadari berda dan menjadi virus penyakit di dalam diri. Yang tanpa adanya kritik pedas namun membangun tersebut tentunya akan menghambat laju perubahan diri menjadi seseorang yang profesional terhadap dirinya sendiri.
Berbeda sekali bila yang dikedepankan adalah pandangan negative thinking, yang segala sesuatunya dilihat dari kacamata negative. Tanpa memperdulikan hikmah-hikmah di balik sesuatu yang dianggap tidak menyamankan diri tersebut. Karena frame-nya sudah negative, maka yang terjadi adalah pangkat dipersalahkan akan membuat diri sang nafs merasa tidak terima, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menolak pangkat tersebut dan melimpahkan atau cenderung lebih menyalahkan pihak-pihak lain. Termasuk keadaan sosial, lingkungan, orang tua, dan sebagainya.
Contoh konkreat-nya adalah permasalahan malas ini. Orang tentunya tidak akan terima bila dikritik bahwa dirinya pemalas kecuali kalau yang sudah mulai menyadari diri mereka akan berdalih yang beraneka ragam, demi untuk mempertahankan diri dalam zona kenyamanan-negative. Atau demi ndiri tetap dalam keadaan 3 M (Mengasyikkan, Membuaikan dan Melegakan diri).
Malas yang kelewatan atau malas yang menuju ke arah kelewatan (proses menuju kemalasan yang kelewat batas) bukan sesuatu hal yang pantas untuk dipertahankan posisinya di dalam diri. Para pengkonsumsi malas memang bisa sekali dipersalahkan atau menjadi "terdakwa", bilamana malas yang kelewat tersebut terus-menerus dikonsumsi. Mengapa bisa dipersalahkan? hal ini dikarenakan adanya unsur kesengajaan mempertahankan sesuatu hal yang buruk, sesuatu hal yang harusnya disirnakan. Unsur kesengajaan utu sangat jelas terlihat, bagaimana tidak? adanya kritikan-langsung dari pihak-pihak yang peduli terhadapnya, atau adanya nasehat-nasehat membangun dari orang-orang yang sayang padanya, hal itu semua sudah seharusnya membukakan pintu hati, fikiran dan tindakannya bahwa apa yang dijalankannya adalah keliru. Bhawa ternyata dirinya penganut paham kemalasan-kritis/akut yakni kemalasan yang sudah melampaui batas kewajaran tetapi berbagai nasehat, kritikan atau sindiran "tidak" membuat sang nafs berpindah haluan atau setidaknya adanya usaha keras untuk hijrah ke ranah "keaktifan diri". Sang nafs tetap saja tidak bergeming dari zona kemalasan. Sang nafs tetap saja menikmati syurga kemalasan.
Sehingga yang demikian di atas, sangatlah wajar bila kemudian sang nafs pantas untuk dipersalahkan. Dengan kondisi bahwa sang nafs menyadari dirinya pemalas tetapi tidak berusaha untuk mengobati diri, dan ditambah dengan tidak adanya niat dan perjuangan yang keras untuk sembuh.
Dengan demikian yang seharusnya dipersalahkan memang tetap diri sendiri bukan orang tua, bukan saudara, bukan lingkungan dan sebagainya. Karena memang sembuh atau tidak sembuh dari kemalasan, keluar atau tidak keluar dari jeratan kemalasan sumber utamanya adalah diri sendiri.
"Mengetahui kekurangan diri adalah tangga untuk mencapai cita-cita. Berusaha terus-menerus untuk mengisi kekurangan adalah keberanian yang luar biasa." (Hamka)
"Tuhan yang menentukan nasib kita berada di tangan diri kita sendiri. Diri kita sendirilah yang memegang kunci." (Alen James)
Dari dua kata mutiara penting di atas dapat diketahui secara gamblang bahwa jangan ada kegengsian diri untuk mengakui bahwa diri sendiri memang mempunyai penyakit. Bahwa diri sendiri memang mempunyai penyakit. Bahwa diri memang mempunyai kelemahan. Dan bahwa diri memang mempunyai kekurangan.
Kegengsian diri hanya akan membawa pada titik kehancuran diri. Semakin besar rasa kegengsian diri atas berbagai kritikan-positif terhadap diri maka semakin jauh perubahan-positif atas diri sendiri. Dan bisa dipastikan "kesuksesan pun akan semakin jauh dari kenyataan yang diharapkan". Pun pula semakin kecil bahkan sampai pada taraf "sirna" rasa kegengsian diri atas berbagai kritikan-positif, maka perubahan-positif atas diri sendiri sangat mudah dijangkau. Dan nantinya kesuksesan pun akan mudah pula tergapai.
Diagram tersebut menggambarkan satu-kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara semangat untuk berhijrah, semangat untuk berubah halauan yang salah satu bentuk usaha hijrah tersebut adalah mau melepaskan diri dari rasa gengsi, rasa malu mengakui kelemahan diri dengan proses menuju keberhasilan atau kesuksesan diri.
Dan sehubungan dengan konsep kegengsian diri ini, kalau saya perhatikan ada beberapa faktor/penyebab yang menjadikan seseorang mendominasikan dirinya terhadap rasa kegengsian diri, sehingga yang terjadi adalah rasa tidak mau dinasehati. Faktor-faktor (yang dimaksud) dapat dilihat dari diagram berikut ini :
Pemaparan Pertama. Faktor keluarga memang sangat berperan aktif dalam membentuk kepribadian seseorang. Dalam hal ini Islam pun memandang keluarga sebagai lingkungan pertama bagi individu. Baik dan buruknya seorang anak itu diposisikan awal dari lingkungan keluarga.
Manakala keluarga inti mampu memberikan edukasi yang berdasarkan pemahaman kompherensif bukan sekedar teori atau konsep semata maka anak pun (kelak) akan menjadi anak yang selalu hidup ber-asaskan pemahaman dan pengertian yakni mampu memahami dan mengerti diri sendiri serta mampu memahami dan mengerti orang lain.
Berbeda manakala keluarga inti termasuk sebagai keluarga yang memberikan percontohan keegoisan dan kegengsian diri terlepas orang tua ber-titel tinggi atau sama sekali tidak ber-titel, karena kenyataan tidak sedikit orang tua yang ber-titel tinggi yang notabene telah mengenyam pendidikan yang cukup bergengsi, tetapi sikap dan tidak tanduknya pun tidak mencerminkan kualitas diri yang baik dan tidak bisa dijadikan percontohan bagi anak-anaknya sikap orang tua yang tidak mau diberi masukan, sikap yang tidak mau dikritik itu menyebabkan anak melakukan "modelling/percontohan" terhadap orang tuanya. Dengan bahasa lain, apa yang dilakukan orang tua akan diikuti pula oleh anak-anaknya.
Sehingga wajar sekali bila ada seseorang yang tidak mau dikritik, merasa dirinya sudah sesuai dengan jalu, atau lebih mementingkan kegengsian dirinya ketimbang kebenaran yang memang benar atas sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Pemaparan Kedua. Dalam Dictionary of Psychology (1972), Pendidikan diartikan sebagai :
"The institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitude, etc. Usually the term is applied to formal institution."
Pendidikan adalah tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya.
Idealnya pendidikan membawa pada "perubahan-positif" bagi individu. Atau katakanlah dengan pendidikan seseorang akan mampu membawa diri menuju "perubahan". Perubahan dari segi pengetahuan (yakni menjadi lebih tahu akan ilmu), perubahan dari segii sikap (yakni menjadi lebih loyal terhadap diri sendiri dan orang lain), perubahan dari segi emosional (yakni menjadi lebih sabar dan memahami orang lain). Itulah yang seharusnya terjadi belamana seseorang berpendidikan.
Seharusnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar perubahan positif terhdap diri sendiri. Dan semakin rendah pendidikan yang di-enyam maka semakin kecil perubahan positif diri sendiri.
Tetapi yang sekarang banyak terjadi adalah pemutaran realita. Tidak sedikit orang yang tinggi tingkat pendidikannya, tetapi begitu rendah perubahan positif terhadap diri sendiri, apalagi terhadap orang lain.
Rasa angkuh, rasa sombong, rasa diri paling pintar, rasa diri lebih tahu dari pada orang lain karena tingkat pendidikan yang tinggi itulah menyebabkan diri "tidak rela" untuk dikritik, tidak rela untuk dipermalukan dengan hal-hal yang menurutnya tidak benar padahal itu semua dalah hal yang sebenarnya yang terjadi pada dirinya.
Lain halnya dengan mereka yang berpendidikan rendah ternyata tidak sedikit yang mau intropeksi diri menuju perubahan-positif atas diri sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tiada penolakan ketika ada kritikan, ada masukan, dan ada nasehat meski tidak semua orang yang berpendidikan rendah menerima itu semua maka tidak heran bilamana banyak orang yang berpendidikan rendah tetapi jalannya lurus-lurus saja.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah mengapa terjadi pemutaran realita, mereka yang berpendidikan tinggi semakin tinggi rasa kegengsian dan keegoisan dirinya, bukan semakin rendah rasa-rasa negatif tersebut? Justru yang berpendidikan rendah malah menerima dengan apa adanya. Meski sekali lagi diperjelas, bahwa tidak semua mereka yang berpendidikan tinggi menganut paham negatif tersebut di atas, dan tidak semua pula mereka yang rendah pendidikannya menganut paham positif di atas. Namun dalam hal ini titik penekanannya adalah pada hal-hal yang seperti saya paparkan di atas.
Jawabannya adalah karena minim atau krisisnya pemahaman atas ilmu dan pengetahuan yang diperoleh. Sebagaimana sedikit di ulas pada pemaparan pertama, yakni bahwa ilmunya hanyalah ilmu teori, pintarnya hanyalah pintar berkonsep, atau titel-nya hanyalah penuh dengan konsep/teori. Semakin tinggi titel-nya maka semakin banyak pula konsep atau teori yang diperoleh. Dan cenderung mengkrisiskan pemahaman atas ilmu atau pengetahuan diri sendiri. Cenderung (pula) krisisnya peng-aplikasian atau penerepan atas berbagai pengetahuan dan ilmu ke dalam diri sendiri.
Maka sekali lagi ditergaskan tidaklah heran bilamana banyak orang yang bertitel yang lebih mengedepankan rasa kegengsian dirinya. Banyak orang pintar yang malu mengakui kesalahan dirinya. Dan banyak orang yang mengaku sarjana tetapi nol dalam tingkah lakunya.
Pemaparan ketiga adalah adanya perbedaan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan yang baik cenderung akan menghasilkan suatu hasil yang baik. Dan lawannya adalah kebiasaan yang buruk cenderung akan menghasilkan suatu hasil yang buruk. Tidak akan pernah keliru bahwa kebiasaan yang baik akan menghasilkan suatu hal yang buruk dan kebiasaan yang buruk akan menghasilkan suatu hal yang baik. Sekali lgi "tidak akan pernah keliru".
Kebiasaan baik akan mudah terserap dan sifatnya langgeng manakala dimulai sejak dini (sejak kecil). Karena membiasakan sesuatu yang baik itu tidaklah mudah butuh kemauan yang kuat. Maka jika tidak diawali sejak kecil akan terasa berat pelaksanaannya meskipun nantinya sampai pada titik yang dimaksud juga.
Bandingkan dengan membiasakan suatu hal yang baik di kala sudah dewasa akan sangat terasa berat. Contoh saja membiasakan membaca buku, padahal sejak kecil sampai menjelang usia dewasa tidak pernah membaca buku, maka ketika ada tuntutan untuk membiasakan membaca buku dikala dewasa tentu akan terasa berat yang berlebihan, sekali lagi butuh perjuangan dan jihad diri yang besar.
Demikian pula membiasakan perubahan diri menuju sesuatu yang baik karena sejak kecil sudah terbiasa atas hal-hal yang tidak baik alias hal-hal yang buruk juga akan terasa sulit manakala tidak segera dipaksakan oleh diri sendiri.
Nah, bila konsep pembiasaan di atas disinkronkan dengan pembahasan yang sedang dibicarakan ini maka akan terlihat bahwa rasa kegengsian diri bisa saja ada pada diri seseorang karena sudah terbiasa dilakukan baik di masa kecil maupun di masa sudah dewasa apalagi yang terkena penyakit kegengsian diri tersebut tidak bisa menghilangkan kebiasaan butuk tersebut. Maka yang terjadi adalah mengkronisnya penyakit kegengsian diri.
Karenanya, kebiasaan-kebiasaan buruk (tersebut) sesulit apapun harus dipaksa keluar dari dalam diri. Diganti dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Sehingga tidak mengganggu atau menghalangi berbagai "kritikan positif" yang diperuntukkan bagi diri demi progresivitas diri sendiri pula.
Pemaparan keempat adalah perbedaan corak berfikir. Maing-masing orang memang akan berbeda dalam mengedepankan ragam fikirannya (interpretasi). Corak berfikir yang negatif tentu akan menghasilkan suatu nilai yang negatif. Suatu kritikan orang lain akan dianggap melecehkan, menghina, dan tidak menghargai diri manakala hal tersebut yang dikedepankan adalah corak berfikir yang negatif. Jadi frame yang ada di dalam fikirannya hanyalah sesuatu yang akan menjatuhkan diri sendiri.
Sedangkan corak berfikir yang positif tentu akan menghasilkan suatu nilai yang positif pula. Suatu kritikan orang lain tidak akan dianggap sebagai bahan pelecehan, penghinaan, ketidaksopanan, atau media penjatuhan diri. Sekali lagi tidak akan terjadi demikian. Justru yang terjadi adalah fikiran yang penuh kejernihan sehingga menghasilkan asumsi positif bahwa kritikan tersebut sejatinya akan menjadi diri sebagai sosok berkualitas yang penuh perubahan positif baik dari segi kognisi, afeksi maupun psikomotor.
Baca Selanjutnya Di bawah ini :
- Siapa yang Harus Disalahkan?
- Demam Kemalasan; Sebuah Pembohongan Hati Nurani
Nahh begitulah pembahasan kali ini yaitu Siapa yang Harus Disalahkan? Menarik bukan? Jika anda suka, share ke teman atau keluarga anda sehingga kita bisa saling mempelajari ilmu-ilmu terkait pembahasan pada artikel ini. Jika ada yang kurang dimengerti silahkan komentar dibawah yah😇😇😇
Jika anda ingin mencari atau melanjutkan pembahasan terkait Psikologi Kemalasan silahkan cek di link berikut : Klik Disini
Demikianlah artikel pembahasan materi yang berjudul Siapa yang Harus Disalahkan? | PK. Semoga bermanfaat bagi anda. Terima Kasih...
Sumber : Buku Panduan "Pengusir Kemalasan" dan "Pembangkit Motivasi-Diri" untuk kalangan Pelajar SMU/MA/SMK, Mahasiswa, Guru dan Dosen, Kaum Pesantren, Karyawan, Instansi Pemerintahan/Swasta dan Perusahaan. (Dr. Azam Syukur Rahmatullah, S.H.I., M.S.I., M.A.)
Posting Komentar untuk "Malas, Siapa yang Harus Disalahkan? | PK"
Posting Komentar